Melintasi Waktu: Kisah Cinta Pertama 6 Tahun Yang Tak Pernah Hilang
Sebuah kisah cinta pertama yang dimulai sejak SD, melewati momen manis, cemburu, dan perpisahan yang tak terelakkan. Kisah ini tentang rasa yang bertahan lebih lama daripada hubungan itu sendiri.
“Untuk kamu yang pernah datang tanpa diminta, lalu tinggal di hati begitu lama tanpa tahu kapan harus pulang.”
Aku tidak terlalu yakin kapan dan di mana awalnya kami bertemu. Tapi seingatku, hari itu seperti biasa, aku yang masih kelas 4 SD masuk ke ruang kelas. Aneh rasanya, karena saat aku menginjakkan kaki di ambang pintu, semua mata menatapku dengan ekspresi yang tak biasa. Tapi aku tidak menghiraukannya—sampai waktu istirahat, salah satu temanku tiba-tiba mendekat dan berbisik, “Hei, tahu nggak? Dia suka sama kamu, lho.” Aku hanya menjawab singkat, “Ohhh.”
Saat itu, aku masih polos dan belum mengerti apa-apa soal cinta. Jadi, aku menganggapnya cuma perasaan suka biasa, antara teman ke teman.
Sejak saat itu, rumor bahwa dia menyukaiku mulai menyebar. Dari satu orang ke orang lain, sampai hampir satu sekolah tahu. Di tengah hiruk-pikuk rumor itu, kami dipindahkan ke kelas Akselerasi lewat jalur tes IQ. Itu kelas khusus untuk anak-anak ber-IQ tinggi, dan kami mendapat perlakuan berbeda—seperti tidak diumumkan juara kelas di lapangan saat pembagian rapor, tapi langsung di dalam kelas. Kami bahkan punya kipas angin dan kerangka tengkorak sendiri.
Kembali ke topik, sejak aku duduk tepat di depannya, dia mulai "deketin" aku secara ugal-ugalan, haha. Mulai dari ngajak ngobrol setiap saat kecuali pas pelajaran, sering makan siang bareng, berdiri di sebelahku saat upacara, memperhatikan dari jauh secara diam-diam maupun terang-terangan, sering tanya PR, sampai rebutan boneka. Godaan dari teman-teman membuat perasaan itu akhirnya muncul juga—pelan tapi pasti, dan ujung-ujungnya... overload. Aku yang polos ini, berubah jadi cegil parah.
Kami sering bertukar surat yang isinya cuma pernyataan cinta dari aku dan dia. Kami juga selalu menunggu jemputan orang tua di tempat yang sama, jadi sering ngobrol lebih lama.
Tapi pernah suatu hari di kelas 6 SD, setelah bertukar surat seperti biasa, waktu istirahat aku jajan sama teman. Tiba-tiba segerombolan orang menarikku ke ruang kelas sebelah. Di sana banyak yang berkerumun. Saat aku datang, mereka semua memberi jalan.
Dan... kalian tahu apa yang aku lihat?
Dia duduk di atas meja seorang adik kelas perempuan, memberikan cokelat sambil menatapnya manis.
Hati ini rasanya... hancur.
Aku langsung lari ke taman sekolah sambil menangis. Tapi lucunya, dia tetap cuek dan... ngasih surat cinta lagi. Dan, bodohnya aku... malah makin cinta. Bahkan sahabat terbaiknya juga pernah menyukaiku dan mereka bertengkar hebat karena itu, sampai sekarang nggak saling sapa.
Ada juga kejadian waktu bersih-bersih kelas di akhir tahun. Tiba-tiba dari dalam box yang dia angkat, keluar tikus. Dia langsung sesak napas. Semua orang panik dan... memanggil aku buat nenangin dia sambil nunggu orang tuanya.
SMP datang. Aku dan dia masih satu sekolah, satu kelas. Cintanya tumbuh, dan cegil-ku makin nggak tertolong. Aku sampai ikut ekskul teater hanya demi dekat dengannya. Sebagai anak dari orang tua yang ketat, aku sering bohong biar bisa lebih lama bareng dia. Aku diam-diam beli hadiah ulang tahun, dan berniat confess langsung di taman sekolah.
Pernah juga, pas kerja kelompok di rumahnya, aku tanpa sengaja manggil dia “sayang” di depan teman-teman. Semua heboh, kita cuma saling pandang sambil tersipu. Main bola bareng di rumahnya, kejar-kejaran karena aku ketahuan motret dia diam-diam. Lucu ya, kalau diingat lagi.
Menjelang lulus SMP, aku berniat masuk SMA di Pondok Pesantren Jawa. Sedih karena akan pisah, tapi aku tetap ingin hubungan ini resmi.
Suatu malam Minggu, aku chat dia:
“Ini kita bakal kayak gini terus? Kamu nggak mau confess ke aku? Nggak mau ngajak aku pacaran?”
Setelah aku spam berkali-kali, akhirnya dia jawab, “Aku suka sama kamu. Kamu mau pacaran sama aku?”
Aku bilang, aku butuh bukti. Jawabannya besok.
Besoknya, aku nemu susu Ultra Milk stroberi kesukaanku di bawah loker, dengan tulisan “yes or no?” Tapi sepanjang hari itu, kita canggung banget. Nggak ngobrol sama sekali. Akhirnya aku jawab "yes" lewat chat malamnya.
Tapi siangnya... dia ngajak putus.
Alasannya, katanya dia lebih nyaman temenan. Setelah itu, kami lost contact.
Setiap pulang liburan dari ponpes, aku sempat cari akun medsos dan WA-nya. Pernah ketemu sekali waktu dia kelas 2 SMA, tapi ditemani temanku juga. Nggak ada yang spesial, selain dia yang makin tinggi dan makin tampan (hahaha...).
Terakhir kali, waktu aku kuliah, aku masih penasaran. Aku tanya lagi soal perasaannya.
Jawabannya: dia udah lama melupakan aku.
Pahit. Tapi ya... cuma aku yang masih menyimpan rasa itu.
Sejak saat itu, kami benar-benar tidak berhubungan lagi. Dan semoga, untuk selamanya.
*UNTUK KAMU YANG PERNAH SINGGAH*
Kalau kamu sempat membaca ini, aku harap kamu tidak menyalahkanku atas “kecegilanku” dulu. Semoga kamu tidak membenciku karena semua itu. Karena bagiku, mencintaimu adalah salah satu hal terindah yang pernah terjadi. Kamu mengubahku jadi pribadi yang ingin selalu jadi lebih baik—di matamu, di mataku, di mata dunia.
Cinta ini mungkin sudah memudar. Tapi tetap akan selalu ada satu ruang kecil di hatiku, yang hanya milikmu.
~ Untuk kamu, yang pernah begitu bermakna, meski hanya sebentar ~
Comments
Post a Comment