Pertama Kali ke Jakarta: Petualangan Rasa Bersama Bestie

Perjalanan ini dimulai dari sebuah kota kecil di Sumatera, menuju jantungnya Indonesia...Jakarta.



Aku dan bestie-ku, sama-sama dari Palembang, akhirnya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota yang selama ini hanya kami lihat dari layar atau dengar dari cerita orang. Kami menginap di rumah teman kuliah kami yang baik hati dan penuh tawa. Begitu tiba, masing-masing dari kami langsung diberi satu kartu TransJakarta, semacam “kunci petualangan” kami di ibukota. Rasanya lucu dan antusias kayak turis yang siap menjelajah dunia.

Hari Pertama, kami bertiga menuju Monas. Sayangnya, kami telat datang dan nggak sempat masuk ke dalam. Tapi justru dari momen ini, kami menemukan versi Monas yang lain: warung-warung di sekitarnya, foto-foto konyol bareng ondel-ondel, dan tawa yang nggak bisa dihentikan.
Kami lanjut ke Masjid Istiqlal dan Katedral; dua tempat ibadah yang berdiri megah berseberangan, seperti simbol toleransi dan keindahan yang tenang di tengah hiruk-pikuk Jakarta.

Menjelang malam, kami menyusuri city light Jakarta dan akhirnya sampai di Bundaran HI. Tempat itu benar-benar... semenakjubkan itu. Lampu, lalu lintas, air mancur, dan langit malamnya seperti dunia baru yang sebelumnya hanya kami khayalkan.

Ada kejadian lucu, kami mencoba photobooth untuk mengabadikan momen. Tapi fotonya nggak keluar meski udah bayar. Kami sampai harus manggil petugas photobooth! Untungnya, akhirnya keluar juga, dan jadi salah satu foto paling berharga sepanjang perjalanan ini.

Hari Kedua, kami memulai pagi hanya berdua karena teman kami ada acara keluarga. Dengan langkah ringan, kami menuju Ancol. Meski nggak sempat masuk Dufan, kami menjelajah Seaworld, menatap ubur-ubur dan ikan-ikan seperti anak kecil yang baru pertama kali lihat dunia bawah laut.

Kami lanjut ke Pantai Ancol. Angin laut, debur ombak, dan pasir putih memberi jeda pada kebisingan Jakarta. Rasanya kayak pelukan kecil yang lembut...sebentar tapi membekas.

Hari Ketiga, kami berpetualang ke Perpustakaan Nasional. Kami tenggelam di antara buku-buku ilmu komunikasi dan sejarah, seolah menemukan ruang sunyi untuk berbicara dengan diri sendiri. Kami juga makan di kantin perpusnya, dan kejadian lucu pun terjadi: entah kami yang terlalu pendek atau mejanya yang terlalu tinggi, tapi kepala kami sejajar banget sama permukaan meja. Kami ngakak sampai air mata keluar.

Malamnya kami menutup hari dengan menonton film di Plaza Indonesia. Filmnya? Yah, agak di luar ekspektasi sih 😅 Tapi rasanya udah cukup. Bisa berjalan di mall besar Jakarta, memandangi etalase, dan tertawa bareng bestie-ku, sudah lebih dari cukup.

Meski masih banyak sudut Jakarta yang belum kami singgahi, pengalaman ini udah lebih dari sekadar “jalan-jalan.” Ini adalah momen di mana aku merasa hidup.

Suasana malam Jakarta dengan lampu-lampu yang berkerlap-kerlip, jalanan yang nggak pernah tidur, dan suara klakson yang ramai, semuanya justru jadi harmoni baru dalam hidupku.



Mungkin inilah titik awal jiwa petualangku muncul kembali. Dan aku nggak sabar menulis cerita selanjutnya.




Comments

Popular posts from this blog

Melintasi Waktu: Kisah Cinta Pertama 6 Tahun Yang Tak Pernah Hilang

Saat Segalanya Hilang, Tapi Aku Masih Di Sini